Senin, 29 April 2013


Hubungan perilaku kejahatan dengan pemerintah



Terdapat hubungan korelatif antara fenomena kejahatan dan penyimpangan level mikro-messo dengan kuat-lemahnya negara. Saat kekuatan negara berkurang, yang mengakibatkan berkurang pula kontrol negara atas perilaku berbagai elemen kemasyarakatan, maka kejahatan dan penyimpangan pada level mikro-messo meningkat. Sebaliknya, negara yang kuat akan mampu menjangkau berbagai fenomena mikro-messo tersebut dan menetralisirnya tanpa takut atau khawatir kehabisan tenaga saat muncul ekses-ekses ikutannya.
            Jika negara menguat atau amat kuat, kejahatan dan penyimpangan oleh negara lebih berupa suatu tindakan aktif (commission) dalam rangka melanggar hak-hak warga negara dengan atau tanpa mengindahkan sistem hukum yang ada. Sebaliknya, jika negara melemah sebagaimana terlihat dewasa ini, maka kejahatan dan penyimpangan oleh negara lebih berupa pembiaran (omission) terkait dengan kejahatan dan penyimpangan yang dilakukan pihak-pihak lain, khususnya yang berada pada level messo-mikro.
            Semakin besar niat untuk menghindarkan diri melakukan kejahatan ataupun penyimpangan negara, diperkirakan akan semakin banyak muncul hambatan, yang salah satunya berasal dari elemen-elemen dalam negara itu sendiri.
            Terhadap dugaan kejahatan yang dilakukan entitas sebesar negara, kemungkinan solusi terbaik adalah melalui konsolidasi sosial-politik antar-elemen-elemen non-negara, dan bukan dengan membawanya ke jalur hukum.
            Apabila disebut sebagai preposisi kriminologis, hal itu mengingat gaya berpikir preposisi-preposisi tersebut yang berbeda dengan preposisi hukum yang lebih melihat dan bersandar pada ada-tidaknya ketentuan normatif serta diperlukannya acara dan proses beracara yang tepat dalam rangka menggunakan ketentuan tersebut. Preposisi kriminologis juga berbeda dengan pendekatan hak asasi manusia mengingat preposisi ini dalam beberapa hal melihat pelanggaran hak asasi manusia sebagai sesuatu yang tak terhindarkan serta melekat dalam dinamika negara dan, bahkan, dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.
           
Sistem dalam Negara

            Negara baru bisa berjalan dan berfungsi jika secara simultan dan komplementer menjalankan berbagai sistem yang secara inklusif dan eksklusif memang merupakan kewenangan dan porsi negara untuk menjalankannya. Sistem tersebut adalah sistem politik, sistem ekonomi, serta sistem hukum. Masih menjadi perdebatan, apakah terkait sistem-sistem lain, negara juga memiliki kewenangan dan porsi sebesar tiga sistem sebelumnya; katakanlah menyangkut sistem sosial, sistem budaya, sistem adat (ada pula yang menyatukannya dengan sistem budaya), sistem agama, sistem keamanan,  serta sistem perilaku (terdapat kalangan yang tidak menyetujui penyebutan tentang hal ini). Khusus mengenai sistem politik dan sistem ekonomi sendiri, ada yang menyebutnya sebagai sistem ketatanegaraan serta sistem moneter.
            Mengapa disebut sistem, karena pada dasarnya terjadi proses pengolahan atas inputguna menjadi output yang dikehendaki dan, setelah memasuki tingkatan dampak, akan kembali menjadi sumber input. Dalam konteks tersebut, maka sistem politik dapat dikatakan merupakan sistem yang mengolah variabel-variabel yang diperlukan dalam rangka dihasilkannya suatu keputusan, kebijakan, atau tindakan politik tertentu. Adapun pengolahnya adalah para partisipan yang aktif dalam sistem politik seperti pemerintah yang berkuasa, parlemen, partai politik, maupun individu ataupun lembaga yang biasa dikelompokkan menjadi entah itu kelompok pengawas (oversight group) kelompok penekan (pressure group), atau kelompok kepentingan (interest group).
            Terkait sistem ekonomi, maka partisipannya adalah pemerintah itu sendiri, parlemen, komisi persaingan usaha, pasar, asosiasi-asosiasi terkait berbagai bidang usaha dan usahawan, pemodal, maupun masyarakat konsumen itu sendiri. Mereka berinteraksi dalam suatu sistem ekonomi dan menghasilkan keluaran berupa.
            Terkait sistem hukum, yang dilihat adalah berbagai proses dan interaksi dalam rangka pembentukan, evaluasi, dan penerapan hukum seiring dengan niatan melakukan kriminalisasi atau dekriminalisasi terkait perilaku tertentu. Hal tersebut dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian, berbagai komisi yang terkait dengan hukum, parlemen, media massa, serta masyarakat sendiri selaku subjek hukum.
            Tentu saja, dalam rangka pergulatan atau interaksi dalam ketiga sistem tersebut, selalu akan terjadi situasi menang-kalah, berhasil-gagal, terpenuhi-tidak terpenuhinya aspirasi serta kepentingannya, dilanjutkan dengan timbulnya perasaan seperti senang-sedih, jengkel-bangga, dan sebagainya. Meskipun demikian, apabila yang muncul justru perasaan sebagai korban (felt victimized), maka ada kemungkinan proses atau interaksi dalam sistem tersebut sebenarnya berlangsung tidak transparan (sehingga banyak hal menjadi tidak terbuka), curang, tidak etis, tidak adil atau diskriminatif, ataupun telah direkayasa agar berakhir dengan hasil tertentu yang dikehendaki.
            Amat mungkin, perasaan sebagai korban tersebut merupakan sesuatu yang individual sifatnya. Jika demikian, hal itu tidak dibicarakan di sini. Yang menjadi fokus pembahasan ini adalah situasi viktimisasi yang  mengimplikasikan orang dalam jumlah yang besar atau massal dan hampir dapat dipastikan dilakukan (secara sengaja atau tidak sengaja, langsung atau tidak langsung) oleh pihak yang mewakili negara.
            Selain proses dan interaksi dalam masing-masing sistem, negara juga bertugas mengkoordinasikan dan mensinergikan ketiganya. Persoalan sistem mana yang didahulukan, kepentingan apa yang ditonjolkan, adalah persoalan pilihan kebijakan yang tak jarang harus diputuskan secara strategik. Walau demikian, sebenarnya negara dapat saja dituding telah berbuat tidak adil, karena memberikan preferensi tanpa dasar yang kuat.

Hubungan Kejahatan Dengan Tingkat Ekonomi


Hubungan Kejahatan Dengan Tingkat Ekonomi


Sebelum Menghubungkan Migrasi dengan Kejahatan ada baiknya dulu kita mengetahui arti dari Migrasi
Migrasi Penduduk / migrasi manusia adalah perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain, berjarak jauh dan terbentuk dalam kelompok yang besar yang tujuannya adalah menetap di suatu daerah. Migrasi melintasi perbatasan wilayah, provinsi, negara, atau internasional. Secara historis gerakan ini nomaden, sering menyebabkan konflik yang signifikan dengan penduduk pribumi dan perpindahan mereka atau asimilasi budaya. Hanya beberapa orang nomaden telah mempertahankan bentuk gaya hidup di zaman modern. Migrasi terus dalam bentuk kedua migrasi sukarela dalam satu kawasan, negara, atau di luar dan migrasi spontan (yang meliputi perdagangan budak, perdagangan manusia dan pembersihan etnis). Orang-orang yang bermigrasi ke wilayah yang disebut imigran, sementara pada titik keberangkatan mereka disebut emigran. Populasi kecil bermigrasi untuk mengembangkan suatu wilayah dianggap batal penyelesaian tergantung pada latar belakang sejarah, kondisi dan perspektif disebut sebagai pemukim atau koloni, sementara populasi pengungsi oleh imigrasi dan kolonisasi disebut pengungsi.
Migrasi disebut juga dengan mobilitas penduduk yang definisi nya sama yaitu perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain. Mobilitas penduduk terbagi dua yaitu bersifat nonpermanen atau sementara misalnya turis baik nasional maupun manca negara, dan ada pula mobilitas penduduk yang bersifat permanen atau menetap di suatu daerah. Mobilitas penduduk permanen disebut migrasi.
Di Indonesia terjadi migrasi antara dari desa ke kota dengan pengharapan penduduk yang berada di desa migrasi ke kota agar mendapatkan kehidupan yang layak dengan bekerja di kota.
Seperti yang diketahui Perdagangan manusia (trafficking) melalui jalur migrasi telah menjadi salah satu bentuk kejahatan transnasional yang marak dalam dekade ini. Dari segi kuantitas, jumlah korban trafficking menunjukkan angka yang mengerikan.
Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) memperkirakan korban perdagangan perempuan berkisar antara 700,000 hingga dua juta orang setiap tahunnya. Bureau of Public Affairs US Department of State dalam laporannya tahun 2003 menyebutkan bahwa setiap tahunnya sebanyak 800.000 – 900.000 manusia telah diperdagangkan dengan tujuan memasok pasar industi seks dan pasar tenaga kerja murah. Tidak hanya marak dari segi kuantitas, nilai transaksi kejahatan trafficking juga menggiurkan. PBB memperkirakan pemasukan setiap tahun dari industri ini mencapai US$7 milyar. Bahkan trafficking diyakini sebagai sumber pemasukan ketiga terbesar dari aktivitas kejahatan transnasional, setelah narkotika dan penjualan senjata api.
Sementara itu kawasan Asia Tenggara merupakan sumber dari sepertiga kasus trafficking global. Angka di atas menunjukkan bahwa meskipun perdagangan manusia bukan merupakan fenomena baru, trend global menunjukkan peningkatan kasus trafficking setiap tahunnya dan perempuan merupakan korban terbanyak perdagangan manusia. Lalu bagaimana memotret kerentanan perempuan dalam persoalan perdagangan manusia?.
Secara global, korban perdagangan manusia beragam mulai dari perempuan, laki-laki, remaja, anak perempuan hingga bayi. Namun perempuan masih menempati jumlah dengan porsi terbesar sebagai korban trafficking. Hal ini menujukkan adanya viktimisasi (victimization) perempuan sebagai korban dalam persoalan perdagangan perempuan. Namun perlu dipahami bahwa persoalan perdagangan perempuan termasuk dalam fenomena gunung es, dimana angka yang tidak terlihat jauh lebih banyak daripada yang terlihat di permukaan. Maksudnya adalah pendataan terhadap korban trafficking hanya dapat dilakukan jika ada tindakan pelaporan dari korban maupun keluarga korban. Sementara dalam realitanya persoalan trafficking yang tidak dilaporkan jauh lebih besar. Selain itu perbedaan persepsi antara para pemangku kepentingan di pemerintahan dalam memaknai trafficking, misalnya antara kepolisian, disnaker, keimigrasian, menjadi persoalan dalam pendefinisian korban trafficking. Seringkali delik hukum yang dikenakan untuk kasus trafficking berhimpitan dengan persoalan penempatan tenaga kerja. Akibat dari berbagai persoalan tersebut. pendataan tentang korban trafficking mengalami kendala akurasi dan validitas. Data korban trafficking yang dihimpun oleh berbagai pemangku kepentingan tersebut pada akhirnya mengalami perbedaan.
Isu viktimasi terhadap perempuan sebagai korban trafficking juga terjadi ketika viktimisasi dilakukan melalui tindakan mengkriminalkan aktivitas migrasi perempuan yang sejatinya dilakukan sebagai strategi untuk bertahan hidup. Perempuan migran dianggap sebagai pelaku kriminal karena bermigrasi dengan cara dan prosedur yang illegal. Terkait dengan hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa kasus perempuan calon migran mengetahui atau menyetujui proses migrasi illegal yang terjadi, misalnya pemalsuan usia dan status untuk dokumen keberangkatan. Namun di sisi lain, tidak sedikit juga migran perempuan yang berangkat secara legal namun dalam perjalanan mereka diselundupkan dan diperdagangkan. Perempuan migran dengan karakteristik inilah yang lebih tepat disebut sebagai korban trafficking.
Persoalan kerentanan perempuan inilah yang kemudian menjadi hal penting lainnya dalam melihat persoalan perdagangan perempuan sebagai bagian dari fenomena globalisasi. Perempuan dan laki-laki, khususnya migran mempunyai pengalaman berbeda dalam menghadapi dan merespons persoalan perdagangan perempuan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kerentanan (vulnerability) yang mereka miliki, yang diantaranya dikarenakan konsekuensi dari kebijakan yang diskriminatif. Kerentanan perempuan sebagai korban trafficking disebabkan oleh sejumlah faktor. Salah satunya terkait dengan adanya praktek-praktek sosial budaya di masyarakat yang diskriminatif terhadap perempuan sehingga menjadikan mereka termarginalisasi dalam berbagai sektor, baik ekonomi, sosial dan pendidikan. Mitos kawin muda atau kawin paksa, yang terjadi di berbagai negara menjadikan perempuan terbatas dalam memanfaatkan kesempatan ekonomi dan pendidikan. Dalam usia yang relatif muda, para perempuan sudah harus berkutat dengan pekerjaan domestik yang membatasi mobilitasnya. Akibatnya, perempuan cenderung miskin dan tidak berpendidikan.
Faktor lain yang meningkatkan kerentanan perempuan sebagai korban trafficking dalam konteks globalisasi adalah adanya persepsi di daerah/negara tujuan bahwa perempuan adalah komoditi yang dapat dipertukarkan dan diperjualbelikan. Isu komodifikasi perempuan sebenarnya bukanlah isu baru. Isu ini telah berkembang paada awal era class-divided society. Pada era yang ditandai dengan perkembangan kapitalisme global, suatu sistem yang mendasarkan pada produksi komoditas, menjadikan persoalan perdagangan perempuan semakin marak. Persepsi bahwa perempuan sebagai komoditi semakin menguat seiring dengan maraknya industri hiburan dan seks. Perempuan dan anak-anak dijadikan komoditas seksual yang dapat diperjualbelikan dengan dipekerjakan sebagai model, bintang film dan wanita penghibur di bar atau restoran. Akibatnya industri seks, prostitusi dan pornografi berkembang pesat dan meraup untung milyaran dolar.
Komodifikasi perempuan terutama sebagai objek seks muncul seiring dengan filosofi laissez-fair dan neoliberalisasi yang dikandung oleh globalisasi. Filosofi tersebut menekankan pada konsep marketisasi, konsumerisme dan individualisme sebagai cirinya. Ketiga konsep tersebut menghasilkan logika bahwa segala hal dapat dikomersilkan dan dikomoditikan, termasuk perempuan. Ini menunjukkan bahwa jenis pekerjaan tersebut menekankan penggunaan femininitas dan seksualitas untuk meraup keuntungan. Dengan tujuan membayar hutang, beberapa negara di Asia, Amerika Latin dan Afrika didorong oleh organisasi internasional seperti IMF dan Bank Dunia untuk mengembangkan berbagai industri yang menstimulasi perkembangan industri seks tersebut. Hal tersebut menunjukkan komodifikasi perempuan melalui prostitusi telah menjadi strategi pembangunan industri turisme dan hiburan di beberapa negara.
Potret kerentanan perempuan dalam isu perdagangan manusia sebagai konsekuensi globalisasi di atas menunjukkan bahwa aktivitas migrasi internasional saat ini lebih kompleks sehingga rentan terhadap peluang terjadinya perdagangan manusia, khususnya perempuan. Sebagai pihak yang rentan terhadap pengaruh globalisasi, perempuan telah menjadikan migrasi sebagai pilihan untuk bertahan hidup. Persoalannya, aktivitas migrasi perempuan yang mendorong terjadinya feminisasi migrasi seringkali tidak berjalan sesuai prosedur sehingga dimanfaatkan oleh sindikat kejahatan transnasional. Kondisi ini semakin kompleks ketika perempuan sendiri telah menjadi pihak yang rentan sebagai korban kejahatan (viktimisasi), akibat perlakuan marginalisasi di keluarga dan masyarakat serta persepsi yang berbeda di daerah tujuan migrasi akan komodifikasi perempuan. Akibat berbagai hal tersebut, perempuan telah menjadi korban kejahatan perdagangan manusia yang sebenarnya melanggar hak asasi manusia. Kejahatan tersebut telah merenggut hak untuk merdeka dan mencari penghidupan yang layak sekaligus berpotensi mendorong terjadinya kekerasan berbasis gender dalam keluarga. Berbagai hal di atas menunjukkan bahwa globalisasi, migrasi dan perdagangan perempuan bukanlah fenomena yang netral gender, melainkan fenomena yang mempengaruhi diskursus ideologi gender, relasi gender dan posisi perempuan di tengah sistem ekonomi politik dunia yang hegemon dan maskulin.

Hubungan Migrasi terhadap Ekonomi


Hubungan Migrasi terhadap Ekonomi


Ekonomi adalah sebuah kata yang sudah tidak asing lagi di telinga manusia sebagai
mahluk sosial yang berusaha mencari nafkah untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga kebutuhan hidup keluarganya. Hampir semua persoalan manusia tidak jauh dan tidak terlepas dari kegiatan ekonomi. Ekonomi merupakan salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa. Istilah “ekonomi” berasal dari bahasa Yunani “oikos” yang berarti “keluarga, rumah tangga” dan “nomos” yang berarti “peraturan, aturan, hukum” dan secara garis besar diartikan sebagai “aturan rumah tangga” atau “manajemen rumah tangga”. Dengan demikian erat kaitannya ekonomi dengan manusia karena manusia secara langsung dan tidak langsung menerapkan ekonomi di dalam kehidupannya sehari-hari dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.

Banyak cara manusia dalam usahanya mendapatkan uang atau pun meningkatkan perekonomiannya, salah satunya adalah dengan bekerja. Manusia sejak kecil diberi pendidikan dengan maksud dapat menjadi bekal untuk bekerja ketika dewasa. Namun kenyataanya tidak sedikit orang yang putus sekolah karena mereka tidak mampu secara materi. Akibatnya mereka mencari pekerjaan yang memang tidak memerlukan pendidikan akhir yang tinggi. Jika mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan, mungkin mereka akan mengemis atau mengamen. Hal itu jelas membuktikan bahwa manusia akan melakukan apa pun demi mendapatkan uang untuk dapat menghidupi dirinya atau pun keluarganya. Karena mau tidak mau, apapun itu, akan selalu berhubungan dengan uang. Semua membutuhkan uang. Secara tidak langsung, pendidikan juga berpengaruh dalam penentuan pekerjaan yang nantinya akan mereka dapat. Walaupun ada juga orang yang tidak mengenyam sekolah sampai tinggi, karena mereka sangat ulet dan gigih, mereka bisa sukses. Sayangnya hal ini tidak terjadi pada setiap orang yang putus sekolah atau bagi mereka yang hanya mengenyam pendidikan rendah.

Contoh nya dalah seperti pada saat letusan gunung Merapi yang belum lama ini terjadi dan dampaknya masih bisa dirasakan sampai saat ini. Beberapa kali lahar dingin datang dan membuat masyarakat yang terkena dampaknya harus kehilangan rumah. Sementara mereka memiliki keluarga yang harus diberi tempat tinggal dan tempat perlindungan. Pada saat kejadian pun, mereka tidak sempat untuk menyelamatkan barangbarang berharga mereka. Ini adalah contoh dampak ekonomi yang dikarenakan faktor bencana alam. 

Dalam keadaan demikian, manusia yang seharusnya mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya jadi tidak bisa lagi melakukan hal itu di daerahnya. Dan bisa jadi manusia melakukan migrasi dalam rangka mencari sesuatu yang tidak lagi didapatkannya di  daerah asalnya. Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas politik atau negara (migrasi internasional). Dengan kata lain migrasi diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah (negara) ke daerah (negara) lain. Arus migrasi ini berlangsung sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaan pendapatan antara kota dan desa. Namun pendapatan yang dimaksud bukanlah pendapatan aktual, melainkan penghasilan yang diharapkan (expected income).

Dapat dikatakan bahwa salah satu faktor yang menarik perhatian manusia untuk melakukan migrasi ke daerah lain adalah faktor ekonomi. Dengan migrasi, manusia akan menemukan sebuah komunitas baru. Manusia akan kembali melakukan sosialisasi terhadap lingkungannya yang baru. Sosialisasi merupakan sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu. Hal tidak mudah bagi mereka yang memang kurang bisa bersosialisasi dengan baik di masyarakat. Padahal banyak keuntungan yang dapat diperoleh dari sosialisasi. Manusia akan bisa mendapatkan banyak koneksi (link) untuk mendapatkan banyak informasi yang menguntungkan diri mereka. Seperti halnya pekerjaan. Apabila mereka bermigrasi ke suatu daerah dalam rangka mencari pekerjaan, maka dengan memiliki koneksi dengan orang lain maka mereka bisa mendapatkan banyak informasi mengenai pekerjaan yang dapat membantu mereka.

Migrasi membuat manusia harus mengenal kembali lingkungan baru mereka seperti halnya mereka mulai mengenal lingkungan tempat tinggal mereka yang dulu. Apabila mereka sudah mendapatkan sesuatu yang mereka butuhkan di lingkungan baru mereka, maka mereka akan menempati lingkungan tersebut dalam waktu yang relatif lama. Seperti yang sudah disebutkan di atas, manusia mencari penghasilan yang menurut mereka sesuai sampai bermigrasi ke daerah yang menurut mereka menjajikan, maka mereka akan membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk dapat mengumpulkan uang. Sewaktu-waktu mereka mengirimkan sebagian dari hasil pendapatan mereka untuk keluarga mereka di daerah asalnya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang terus menjadi tali di antara mereka yang bertempat tinggal di tempat yang berbeda.

Hubungan Manusia Dengan Masyarakat


Hubungan Manusia dengan Masyarakat



Manusia selain sebagai makhluk individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa yg menyendiri namun manusia juga sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia lahir, hidup dan berkembang dan meninggal dunia di dalam masyarakat. Menurut Aristoteles (Yunani, 384-322 SM), bahwa manusia itu adalah ZOON POLITICON artinya bahwa manusia itu sbg makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yg suka bermasyarakat. Dan oleh karena sifatnya suka bergaul satu sama lain, maka manusia disebut makhluk sosial.
Terjadilah hubungan satu sama lain yang didasari adanya kepentingan, dimana kepentingan tersebut satu sama lain saling berhadapan atau berlawanan dan ini tidak menutup kemungkinan timbul kericuhan. Kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Disinilah peran hukum mengatur kepetingan - kepentingantersebut agar kepentingan masing-masing terlindungi, sehingga masing-masing mengetahui hak dan kewajiban. Pada akhirnya dengan adanya hukum masyarakat akan hidup aman, tentram, damai, adil dan makmur.
Dimana ada masyarakat disitu ada hukuHukum ada sejak masyarakat ada. Dapat dipahami disini bahwa hukum itu sesungguhnya adalah produk otentik dari masyarakat itu sendiri yang merupakan kristalisasi dari naluri, perasaan, kesadaran, sikap, perilaku, kebiasaan, adat, nilai, atau budaya yang hidup di masyarakat. Bagaimana corak dan warna hukum yang dikehendaki untuk mengatur seluk beluk kehidupan masyarakat yang bersangkutanlah yang menentukan sendiri. Suatu masyarakat yang menetapkan tata hukumnya bagi masyarakat itu sendiri dalam berlakunya tata hukum itu artinya artinya tunduk pada tata hukum hukum itu disebut masyrakat hukum.

Alasan Masyarakat mematuhi hukum :

-    Karena orang merasakan bahwa peraturan -  itu dirasakan sebagai hukum. Mereka benar-benar berkepentingan akan berlakunya peraturan tersebut
-    Karena ia harus menerimanya supaya ada rasa ketentraman. Ia menganggap peraturan hukum secara rasional. Penerimaan rasional ini sebagai akibat adanya sanksi hukum. Agar tidak mendapatkan kesukaran – kesukaran orang memilih untuk taat saja pada peraturan hukum karena melanggar hukum mendapat sanksi hukum.

Minggu, 31 Maret 2013

Pertumbuhan penduduk

Jumlah Penduduk Indonesia tahun 2012

Kepadatan penduduk



Laju pertumbuhan penduduk lebih tinggi di negara berkembang (merah) dibanding dengan negara maju (biru)
Kepadatan penduduk dihitung dengan membagi jumlah penduduk dengan luas area dimana mereka tinggal.
Beberapa pengamat masyarakat percaya bahwa konsep kapasitas muat juga berlaku pada penduduk bumi, yakni bahwa penduduk yang tak terkontrol dapat menyebabkan katastrofi Malthus. Beberapa menyangkal pendapat ini. Grafik berikut menunjukkan kenaikan logistik penduduk.
Negara-negara kecil biasanya memiliki kepadatan penduduk tertinggi, di antaranya: MonakoSingapuraVatikan, dan Malta. Di antara negara besar yang memiliki kepadatan penduduk tinggi adalah Jepang dan Bangladesh.

PIRAMIDA PENDUDUK

Distribusi usia dan jenis kelamin penduduk dalam negara atau wilayah tertentu dapat digambarkan dengan suatu piramida penduduk. Grafik ini berbentuk segitiga, dimana jumlah penduduk pada sumbu X, sedang kelompok usia (cohort) pada sumbu Y. Penduduk lak-laki ditunjukkan pada bagian kiri sumbu vertikal, sedang penduduk perempuan di bagian kanan.
Piramida penduduk menggambarkan perkembangan penduduk dalam kurun waktu tertentu. Negara atau daerah dengan angka kematian bayi yang rendah dan memiliki usia harapan hidup tinggi, bentuk piramida penduduknya hampir menyerupai kotak, karena mayoritas penduduknya hidup hingga usia tua. Sebaliknya yang memiliki angka kematian bayi tinggi dan usia harapan hidup rendah, piramida penduduknya berbentuk menyerupai genta (lebar di tengah), yang menggambarkan tingginya angka kematian bayi dan tingginya risiko kematian.

PENGENDALIAN JUMLAH PENDUDUK



Piramida penduduk yang menunjukkan tingkat mortalitas stabil dalam setiap kelompok usia
Pengendalian penduduk adalah kegiatan membatasi pertumbuhan penduduk, umumnya dengan mengurangi jumlah kelahiran. Dokumen dariYunani Kuno telah membuktikan adanya upaya pengendalian jumlah penduduk sejak zaman dahulu kala. Salah satu contoh pengendalian penduduk yang dipaksakan terjadi di Republik Rakyat Cina yang terkenal dengan kebijakannya 'satu anak cukup'; kebijakan ini diduga banyak menyebabkan terjadinya aksi pembunuhan bayi, pengguguran kandungan yang dipaksakan, serta sterilisasi wajib.
Indonesia juga menerapkan pengendalian penduduk, yang dikenal dengan program Keluarga Berencana (KB), meski program ini cenderung bersifat persuasif ketimbang dipaksakan. Program ini dinilai berhasil menekan tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia.

PENURUNAN JUMLAH PENDUDUK

Berkurangnya jumlah penduduk menyebabkan turunnya jumlah populasi pada sebuah daerah. Hal ini disebabkan oleh perpindahan daerah kesuburan atau oleh emigrasi besar-besaran. Juga oleh penyakitkelaparan maupun perang. Namun seringkali oleh gabungan faktor-faktor tersebut. Di masa lampau penurunan jumlah penduduk disebabkan terutama sekali oleh penyakit. Pada tahun-tahun belakangan ini populasi penduduk Rusia dan tujuh belas bekas negara komunis lainnya mulai menurun (1995-2005). Kasus Black Deathdi Eropa atau datangnya penyakit-penyakit dari dunia lama ke Amerika merupakan faktor penyebab turunnya jumlah penduduk.

TRANSFER PENDUDUK

Transfer penduduk adalah istilah untuk kebijakan negara yang mewajibkan perpindahan sekelompok penduduk pindah dari kawasan tertentu, terutama dengan alasan etnisitas atau agama. Hal ini terjadi di India dan Pakistan, antara Turki dan Yunani, dan di Eropa Timur selama Perang Dunia Kedua. Kebijakan transmigrasi oleh pemerintah Indonesia selama orde baru bisa dikategorikan transfer penduduk. Perpindahan penduduk lainnya dapat pula karena imigrasi, seperti imigrasi dari Eropa ke koloni-koloni Eropa di AmerikaAfrikaAustralia, dan tempat-tempat lainnya.

LEDAKAN PENDUDUK



Peta kepadatan penduduk dunia per 1994
Buku berjudul The Population Bomb (Ledakan Penduduk) pada tahun 1968 oleh Paul R. Ehrlich meramalkan adanya bencana kemanusiaan akibat terlalu banyaknya penduduk dan ledakan penduduk. Karya tersebut menggunakan argumen yang sama seperti yang dikemukakanThomas Malthus dalam An Essay on the Principle of Population (1798), bahwa laju pertumbuhan penduduk mengikuti pertumbuhan eksponensial dan akan melampaui suplai makanan yang akan mengakibatkan kelaparan.

PENDUDUK DUNIA



Populasi dunia 1950-2011


Kecepatan pertumbuhan 1950-2000
Berdasarkan estimasi yang diterbitkan oleh Biro Sensus Amerika Serikat, penduduk dunia mencapai 6,5 miliar jiwa pada tanggal 26 Februari 2006 pukul 07.16 WIB. Dari sekitar 6,5 miliar penduduk dunia, 4 miliar diantaranya tinggal di Asia. Tujuh dari sepuluh negara berpenduduk terbanyak di dunia berada di Asia (meski Rusia juga terletak di Eropa).
Sejalan dengan proyeksi populasi, angka ini terus bertambah dengan kecepatan yang belum ada dalam sejarah. Diperkirakan seperlima dari seluruh manusia yang pernah hidup pada enam ribu tahun terakhir, hidup pada saat ini.
Pada tanggal 19 Oktober 2012 pukul 03.36 WIB, jumlah penduduk dunia akan mencapai 7 miliar jiwa. Badan Kependudukan PBB menetapkan tanggal 12 Oktober 1999 sebagai tanggal dimana penduduk dunia mencapai 6 miliar jiwa, sekitar 12 tahun setelah penduduk dunia mencapai 5 miliar jiwa.
Berikut adalah peringkat negara-negara di dunia berdasarkan jumlah penduduk (2005):
  1. Republik Rakyat Cina (1.306.313.812 jiwa)
  2. India (1.103.600.000 jiwa)
  3. Amerika Serikat (298.186.698 jiwa)
  4. Indonesia (241.973.879 jiwa)
  5. Brasil (186.112.794 jiwa)
  6. Pakistan (162.419.946 jiwa)
  7. Bangladesh (144.319.628 jiwa)
  8. Rusia (143.420.309 jiwa)
  9. Nigeria (128.771.988 jiwa)
  10. Jepang (127.417.244 jiwa)

Kerukunan umat beragama mulai tidak harmonis

Kerukunan umat beragama adalah suatu bentuk sosialisasi yang damai dan tercipta berkat adanya toleransi agama. Toleransi agama adalah suatu sikap saling pengertian dan menghargai tanpa adanya diskriminasi dalam hal apapun, khususnya dalam masalah agama. Kerukunan umat beragama adalah hal yang sangat penting untuk mencapai sebuah kesejahteraan hidup di negeri ini. Seperti yang kita ketahui, Indonesia memiliki keragaman yang begitu banyak. Tak hanya masalah adat istiadat atau budaya seni, tapi juga termasuk agama. Walau mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam, ada beberapa agama lain yang juga dianut penduduk ini. Kristen, Khatolik, Hindu, dan Budha adalah contoh agama yang juga banyak dipeluk oleh warga Indonesia. Setiap agama tentu punya aturan masing-masing dalam beribadah. Namun perbedaan ini bukanlah alasan untuk berpecah belah. Sebagai satu saudara dalam tanah air yang sama, kita harus menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia agar negara ini tetap menjadi satu kesatuan yang utuh.
Pengertian lain dari kerukunan umat beragama yaitu suatu bentuk menjalin kahidupan di mana kita harus saling menghormati serta menghargai agama-agama lain di sekeliling kita, misalnya dalam bentuk hari-hari besar yang mereka rayakan. Tidak hanya hari-hari besar dalam hidup keseharian pun kita harus tetap menjalain komunikasi dengan baik untuk membangun suatu hubungan yang dapat berpengaruh positif dalam kehidupan kita.
Persamaan Membangun Kerukunan Antar Umat Beragama. Tidak tidak bisa dibantah bahwa, pada akhir-akhir ini, ketidakerukunan antar dan antara umat beragama [yang terpicu karena bangkitnya fanatisme keagamaan] menghasilkan berbagai ketidakharmonisan di tengah-tengah hidup dan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Oleh sebab itu, perlu orang-orang yang menunjukkan diri sebagai manusia beriman [dan beragama] dengan taat, namun berwawasan terbuka, toleran, rukun dengan mereka yang berbeda agama. Disinilah letak salah satu peran umat beragama dalam rangka hubungan antar umat beragama, yaitu mampu beriman dengan setia dan sungguh-sungguh, sekaligus tidak menunjukkan fanatik agama dan fanatisme keagamaan. Di balik aspek perkembangan agama-agama, ada hal yang penting pada agama yang tak berubah, yaitu credo atau pengakuan iman. Credo merupakan sesuatu khas, dan mungkin tidak bisa dijelaskan secara logika, karena menyangkut iman atau percaya kepada sesuatu di luar jangkauan kemampuan nalar manusia. Dan seringkali credo tersebut menjadikan umat agama-agama melakukan pembedaan satu sama lain. Dari pembedaan, karena berbagai sebab, bisa berkembang menjadi pemisahan, salah pengertian, beda persepsi, dan lain sebagainya, kemudian berujung pada konflik.
Di samping itu, hal-hal lain seperti pembangunan tempat ibadah, ikon-ikon atau lambang keagamaan, cara dan suasana penyembahan atau ibadah, termasuk di dalamnya perayaan keagamaan, seringkali menjadi faktor ketidaknyamanan pada hubungan antar umat beragama. Jika semua bentuk pembedaan serta ketidaknyamanan itu dipelihara dan dibiarkan oleh masing-masing tokoh dan umat beragama, maka akan merusak hubungan antar manusia, kemudian merasuk ke berbagai aspek hidup dan kehidupan. Misalnya, masyarakat mudah terjerumus ke dalam pertikaian berdasarkan agama [di samping perbedaan suku, ras dan golongan]. Untuk mencegah semuanya itu, salah satu langkah yang penting dan harus terjadi adalah kerukunan umat beragama. Suatu bentuk kegiatan yang harus dilakukan oleh semua pemimpin dan umat beragama.
Kerukunan [dari ruku, bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-tiang yang menopang rumah; penopang yang memberi kedamain dan kesejahteraan kepada penghuninya] secara luas bermakna adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan antar semua orang walaupun mereka berbeda secara suku, agama, ras, dan golongan. Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan; serta kemampuan dan kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tenteram. Langkah-langkah untuk mencapai kerukunan seperti itu, memerlukan proses waktu serta dialog, saling terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta cinta-kasih.
Di samping itu, harus terjadi kerukunan intern umat beragama. Hubungan tak harmonis intern umat beragama pun bisa merusak atau berdampak masyarakat luas yang berbeda agama. Biasanya perbedaan tafsiran terhadap teks kitab suci dan pemahaman teologis dalam agama-agama memunculkan konflik serta perpecahan pada umat seagama. Konflik dan perpecahan yang melebar, bisa mengakibatkan rusaknya tatanan hubungan baik antar manusia, bahkan mengganggu hidup dan kehidupan masyarakat luas. Kerukunan dapat dilakukan dengan cara tidak mengganggu ketertiban umum; tidak memaksa seseorang pindah agama; tidak menyinggung perasaan keagamaan atau ajaran agama dan iman orang yang berbeda agama; dan lain-lain
Kerukunan antara umat beragama dan kerukunan intern umat seagama harus juga seiring dengan kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Pemerintah adalah lembaga yang berfungsi memberlakukan kebaikan TUHAN Allah kepada manusia; pemelihara ketertiban, keamanan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam kenyataan kesehariannya, seringkali terlihat bahwa, pemerintah dengan politik akomodasinya, bukan bertindak sebagai fasilitator kerukunan umat beragama, tetapi membela salah satu agama.
Macam-Macam Kerukunan Umat Beragama di Indonesia
  • Kerukunan antar pemeluk agama yang sama, yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat penganut satu agama. Misalnya, kerukunan sesama orang Islam atau kerukunan sesama penganut Kristen.
  • Kerukunan antar umat beragama lain, yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat yang memeluk agama berbeda-beda. Misalnya, kerukunan antar umat Islam dan Kristen, antara pemeluk agama Kristen dan Budha, atau kerukunan yang dilakukan oleh semua agama.
  •  
Bagaimana Menjaga Kerukunan Umat Beragama di Indonesia
  • Menjunjung tinggi rasa toleransi antar umat beragama, baik sesama antar pemeluk agama yang sama maupun yang berbeda.Rasa toleransi bisa berbentuk dalam macam-macam hal. Misal, perijinan pembangunan tempat ibadah oleh pemerintah, tidak saling mengejek dan mengganggu umat lain, atau memberi waktu pada umat lain untuk beribadah bila memang sudah waktunya. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menunjukkan sikap toleransi. Hal ini sangat penting demi menjaga tali kerukunan umat beragama di Indonesia.
  • Selalu siap membantu sesama. Jangan melakukan diskriminasi terhadap suatu agama, terutama saat mereka membutuhkan bantuan. Misalnya, di suatu daerah di Indonesia mengalami bencana alam. Mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Kristen. Bagi Anda yang memeluk agama lain, jangan lantas malas untuk membantu saudara sebangsa yang sedang kesusahan hanya karena perbedaan agama.
  • Selalu jagalah rasa hormat pada orang lain tanpa memandang agama apa yang mereka anut. Misalnya dengan selalu berbicara halus dan tidak sinis. Hal ini tentu akan mempererat kerukunan umat beragama di Indonesia.
  • Bila terjadi masalah yang menyangkut agama, tetap selesaikan dengan kepala dingin tanpa harus saling menyalahkan. Para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah sangat diperlukan peranannya dalam pencapaian solusi yang baik dan tidak merugikan pihak manapun, atau mungkin malah menguntungkan semua pihak.

Kejahatan Di Kota Lebih Sering Terjadi Bila Dibandigkan Dengan Di Desa

Kejahatan
kejahatan adalah segala tingkah laku manusia, yang  dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat secara ekonomis, psikologis, dan melukai perasaan sosial dalam kehidupan bersama. Kejahatan bersifat universal dan tidak terbatas ruang dan waktu disebabkan ia bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan terhadap siapa saja. Bisa dikatakan setiap hal yang dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain ialah kejahatan.
Faktor dan Penyebab Kejahatan 
Ada beberapa faktor penyebab kejahatan , faktor dibawah merupakan hasil aetiologi daripada sosiologi kriminil .
1 Terlantarnya Anak
Kejahatan anak-anak, pemuda-pemuda sudah merupakan bagian yang besar dalam kejahatan, lagi pula kebanyakan penjahat- penjahat yang sudah dewasa umumnya sudah sejak mudanya menjadi penjahat sudah merosot kesusilaanya sejak kecil.
2. Kesengsaraan
Pengaruh kesengsaraan terhadap kejahatan ekonomi sudah terbukti sangat besar asal saja yang dimaksud dengan kesengsaraan bukan hanya hampir mati karena kelaparan. Dari kejahatan ekonomi secara umum, yang paling banyak menjadi penyebabnya adalah kesengsaraan.
3. Nafsu Ingin Memiliki
Pada umumnya sangat sukar untuk menentukan dengan pasti, karena dengan maksud apa suatu kejahatan dilakukan. Karena itu, statistik kriminil di NETHERLAND juga tidak berani mengadakan pembagian menurut maksudya. Barangkali dapat dikatakan bahwa pencurian biasa lebih banyak dilakukan karena maksud-maksud yang berhubungan dengan faktor kesengsaraan, sedangkan kejahatan terhadap kekayaan yang lebih berbelit-belit bentuknya, sering disebabkan karena nafsu ingin memiliki atau dilakukan oleh penjahat pencaharian.
4. Demoralisasi seksuil
Psyco-pathologi modern mengajarkan pada kita dengan terang, bahwa lingkungan pendidikan sewaktu masih muda besar sekali pengaruhnya terhadap adanya kelainan-kelainan seksuil (biasanya berhubungan dengan kejahatan). Dalam masyarakat sekarang banyak sekali anak-anak yang hidup di linkungan yang buruk (dari segi sosial, tetapi juga terutama psycologis dan paedagogis). Banyak anak-anak terutama dari golongan rendah dalam masyarakat mengenal penghidupan kesusilaan sedemikian rupa, sehingga menyebabkan mereka dapat memperoleh kerusakan dalam jiwanya, yang dapat bersifat hebat sekali.
5. Alkoholisme
Mengenai pengaruh langsung dari alkoholisme terhadap kejahatan dibedakan antara yang chronis dan yang akut. Alkoholisme yang chronis pada seorang yang diwanja sudah tidak sehat, selama perkembangannya begitu merusak penderita- penderitayang malang, hingga dapat menyebabkan kejahatan yang sangat berbeda macamnya. Dengan jelas hal ini terlihat umpanya pada golongan pengemis dan gelandangan, yang daftar hukumnya penuh dengan bermacam-macam kejahatan, sedangkan kebanyakan dari mereka adalah peminum yang chronis.
Alkoholisme akut adalah terutama berbahaya karena ia menyebabkan hilangnya dengan sekonyong-konyong daya menahan diri dari sipeminum. Begitulah seseorang yang mempunyai gangguan-gangguan dalam kehidupan seksuilnya, jika minum alkohol yang melampaui batas, yang menyebabkan ia tak dapat menahan hawa nafsunya lagi, akan mencari kepuasan seksuilnya dengan cara yang melanggar undang-undang, dan akibatnya ia akan dituntut di depan pengadilan.
6. Kurangnya Peradaban
Peradaban dan pengetahuan yang terlalu sedikit, dan kurangnya daya menahan diri yang bergandengan dengan itu. Tapi masih ada juga kelompok-kelompok yang besar yang hidup dalam keadaan kerohanian yang menyedihkan, kebudayan untuk mereka semata-mata merupakan kata hampa saja : masih ada orang-orang barbar yang hidup dalam masyarakat beradab. Adalah negara- negara, daerah-daerah, dan golongan-golongan penduduk yang paling terbelakang yang menunjukan kejahatan kekerasan yang paling banyak.
7. Perang
Perang pernah disebut sebagai percobaan besar-besaran dalam lapangan sosiologi, karena hampir semua faktor yang dapat menyebabkan kejahatan, di buatnya menjadi lebih penting.
Berikut Ciri-ciri masyarakat Pedesaan dan masyarakat Perkotaan .
Ciri-ciri masyarakat pedesaan
1)      Kehidupan didesa masyarakatnya masih memegang teguh keagamaan atau adat dari leluhur mereka.
2)      Warga pedesaan lebih condong saling tolong-menolong tidak hidup individualisme
3)      Warga pedesaan mayoritas memiliki pekerjaan sebagai petani.
4)      Fasilitas-fasilitas masih sulit ditemukan dipedesaan
5)      Warganya masih sulit untuk menerima hal baru atau mereka tertutup dengan hal-hal yang baru.
Ciri-ciri masyarakat Perkotaan
1)      Kehidupan keagamaannya berkurang, kadangkala tidak terlalu dipikirkan karena memang kehidupan yang cenderung kearah keduniaan saja.
2)      Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus berdantung pada orang lain (Individualisme).
3)      Pembagian kerja diantara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
4)      Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota.
5)      Perubahan-perubahan tampak nyata dikota-kota, sebab kota-kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar.
Penyebab kejahatan di kota lebih besar daripada kejahatan desa.
Dari ciri masyarakat perkotaan di point 1 dapat kita lihat kehidupan beragama yang kurang bisa dikatakan faktor terbesar terjadinya kejahatan di perkotaan . Karena agama dapat membimbing ke hal yang baik, dengan kurangnya agama tidak membataskan orang untuk berlaku jahat , berbeda hal dengan masyarakat desa yang kehidupan beragama masih melekat.  Pola kejahatan di perkotaan berdasarkan urutan besarnya persentase adalah kejahatan percurian, narkoba, penganaiaan, perampokan, dan pembunuhan.
Masyarakat di kota umumnya berpendidikan , namun itu salah satu penyebab kejahatan dari penyalahgunaan ilmu . faktor agama yang kurang itulah yang menyebabkan penyalahgunaan ilmu . Orang yang berilmu dapat membuat kejahatan yang lebih besar dari kejahatan biasa , karena orang yang berilmu akan berfikir lebih luas. Biaya kehidupan di kota yang besar mendorong kejahatan, terutama pada pencurian . Pengganguran di perkotaan juga mendorong kejahatan , biaya kehidupan dan pengganguran ialah faktor ekonomi yang menyebabkan kejahatan. 
 Kejahatan itu sendiri bukan terjadi karena ada niat dari pelakunya terkadang kejahatan terjadi karena ada kesempatan. oleh karena kejahatan itu, banyak orang-orang dari perkotaan yang pindah ke pedesaan untuk mencari ketenangan, sedangkan sebaliknya, masyarakat pedesaan pergi dari desa untuk ke kota mencari kehidupan dan pekerjaan yang layak untuk kesejahteraan mereka.